BANGKALAN, Lsmpakis.com.com – Dari sejumlah Santriwati yang menjadi korban dugaan pelecehan seksual, yang diduga dilakukan oleh SY (45) pengasuh pondok pesantren (Ponpes) di Desa Parseh, Kecamatan Socah, Kabupaten Bangkalan, Madura.
Kini sudah ada tiga santriwati yang diduga menjadi korban mengadu pada polisi, terakhir aduan itu datang dari B (15) tahun. Mereka pun melaporkan dugaan pencabulan kepada pihak kepolisian Resort (Polres) Bangkalan secara beruntun.
Diketahui sebelumnya sudah ada dua korban yang telah melapor ke polisi, yakni NV (15) dan BN (16). Mereka bertiga diduga menjadi keganasan seksual pengasuh ponpes-nya.
“Saat kami mendampingi korban, investigasi, dan turun ke lapangan serta mewawancarai orang tua korban. Sebenarnya korban lebih dari tiga orang,” papar Abdurahman Tohir ketua Pusat Analisis Kajian Informasi Strategis (Pakis). Rabu (30/10/2024).
Namun, Abdurrahman Tohir menyayangkan para korban lainnya. Sebab, tidak semua korban berani melaporkan karena tekanan psikologi, intimidasi dan trauma yang dialami.
“Menurut pengaduan dari para terduga korban, tidak semua di rudapaksa oleh terduga pelaku (SY), ada yang sekedar diminta untuk memijit alat kemaluannya, ada yang sampai hamil, dan ada pula yang dicabuli anak dan ibunya, ini sangat bejat sekali,” ungkap Tohir berdasarkan pengaduan yang disampaikan kepada tim LSM PAKIS.
Berangkat dari persoalan ini semua, kini kondisi para korban kebanyakan dari mereka mengalami trauma, ketakutan dan gangguan psikologis.
“Kami dari lembaga berharap, pemerintah juga hadir untuk melakukan pendampingan psikologi pada para korban, mengingat rata-rata korban masih dibawah umur,” ujarnya.
Selain itu, pihaknya juga berharap jika situasi terkini psikologi publik dan suasana kebatinan serta luapan emosional masyarakat sekitar tidak mampu terkendali, kemudian mereka ada upaya penghakiman massa.
“Saya harap, para tokoh dan pihak keamanan untuk melakukan pemantauan yang lebih intens serta meredam gejolak masyarakat yang ditimbulkan atas persoalan ini, serta kekecewaan para wali siswa atau wali santri di sekitarnya, utamanya atensi ini saya tekankan pada Polres Bangkalan,” jelasnya.
Menurut Rahman Tohir, seharusnya seorang santri mendapatkan ruang aman dan fasilitas keagamaan yang baik di pesantren. Namun yang terjadi malah sebaliknya. Ia mendapat perlakuan yang tidak wajar dan mengerikan. dan kecenderungan korban yang tidak berani melapor bisa dikarenakan tidak memiliki aspek pendidikan yang mumpuni, latar belakang sosial korban yang berasal dari kalangan awam dan tidak akan berani menghadapi ancaman yang diberikan pelaku.
“Seharusnya dengan kejadian tersebut menjadikan oknum kiai cabul itu belum tertangkap ini ketar-ketir. Tetapi kondisi saat ini berbeda. Apakah ada dugaan perlindungan dari tokoh ataupun Polres Bangkalan,” tanya Rahman, dengan nada bingung.
“Harapan kita, proses hukum dengan tindakan tegas. Segera tetapkan tersangka. Tantangan penegakan hukum kepada Polres Bangkalan tidak ringan. Harapan kita Polisi sebagai penyelidik dan penyidik sebagaimana diamanatkan dalam KUHAP harus tegas dalam bertindak, sesuai dengan prosedur hukum, terus maju dan lurus serta presisi,” ungkapnya.
Rahman Tohir sangat mengetahui, polisi adalah penegak hukum yang mewakili negara. Negara harus hadir dalam penegakan hukum. Negara tidak boleh kalah. Siapapun yang dihadapi tidak boleh gentar. Mau anggota DPR, Tokoh partai, Kiai sepuh, entah siapapun itu. Hukum jangan hanya tajam ke bawah, tumpul ke atas. Penegak hukum harus menegakkan hukum untuk mewujudkan keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Korban harus dilindungi, penegakan hukum juga harus menimbulkan efek jera dan mencegah orang lain untuk melakukan hal yang sama.
“Janganlah gara-gara nila setitik, rusak susu sebelanga. Jangan karena setitik noda di satu Pondok Pesantren merusak semua Pondok Pesantren lainnya. Wibawa Pondok Pesantren dan Kiai harus dijaga. Semoga dengan ini Polres Bangkalan segera menahan pelaku dan menjadikan pembelajaran untuk pondok pesantren atau lembaga pendidikan lain,” tegasnya.