Lebaran di Masa Efisiensi

“Mumet saya Pak, akibat efisiensi ini, anggaran untuk beli ATK saja tidak ada sekarang,’’ keluh kawan saya, seorang pejabat di Bangkalan.

Dan, keluhan serupa kemudian hilir mudik di telinga saya. Mulai suara keluhan dari staf di lembaga pemerintahan, sampai pejabat lainnya.

Lalu bagaimana dengan kami rakyat biasa. Masih adakah ruang untuk berkeluh kesah?

Maka begitulah ketika obrolan menyangkut efisiensi, semua kemudian tiba-tiba menjadi sensitif.

Maka, dampak efisien itu sangat panjang. Lingkaran api mulai terbentuk, dan masing-masing pihak saling terkait.

Akibat anggaran sebuah lembaga pemerintah dipangkas, hingga kemudian tidak bisa melakukan pengadaan atau membuat proyek besar.

Maka, bakal ada pengusaha atau rekanan yang berhenti bekerja. Karena rekanan tidak ada kegiatan, maka sekian puluh atau sekian ratus orang yang biasanya bekerja di bawah rekanan tersebut akan berhenti bekerja juga.

Akibat sebuah perusahaan kontraktor yang tidak ada proyek, maka dia tidak bisa menggandeng rekanan-rekanan lain.

Para karyawan juga tidak bisa bekerja. Para tukang juga menganggur, padahal tukang punya anak istri yang harus dinafkahi.

Karena bapaknya yang tukang bangunan tidak bekerja, maka anaknya telat membayar iuran sekolah, uang kuliah dan lainnya.

Karena tidak ada proyek fisik, maka produsen bahan bangunan juga berkurang penjualannya, berkurang keuntungannya.

Karena penjualan kurang, produksi juga dikurangi, yang tentu berimbas pada jam kerja karyawan yang juga berkurang.

Karena jam kerja berkurang, maka gaji dan tunjangan juga berkurang, bahkan bonuspun hilang.

“Dulu, tiap tri wulan ada bonus, bonus tahunan banyak serta bonus-bonus lain. Sekarang sudah tidak ada,” keluh salah satu kawan yang sebagai karyawan sebuah perusahaan swasta.

Karena pendapatan berkurang, daya beli juga berkurang.

Harus mengetatkan ikat pinggang. Karena daya beli masyarakat turun, pada pedagang banyak yan tidak laku.

Jangankan keuntungan, modalnya saja ikut raib. Terlebih pedagang di bisnis kuliner atau makanan dan olahan yang siap santap. Tentu tidak bisa bertahan berhari-hari.

Maka guyonan kawan-kawan; apakah Lebaran kali ini masih bisa ngopi atau tidak?

Karena keadaan yang sulit, sumber pemasukan macet, sedang kebutuhan tak bisa diajak kompromi.

Baju Lebaran, kue Lebaran akankah terbeli hehehe…

Tapi, semua itu adalah fakta dunia, fenomena yang saat ini terjadi, yang hadir di depan mata, bisa dilihat secara nyata.

Sebab, bagi kaum beriman ada dimensi barokah, ada dimensi gaib, ada dimensi sifat Rahman Allah yang diyakini.

Bahwa ketika Tuhan berkehendak, maka tidak ada yang tidak mungkin. Maka, biar dunia dalam kondisi sesulit apapun, problem dan masalah ekonomi melilit sekuat apapun, ketika Tuhan berkehendak memberi rejeki, maka semua fakta itu tak ada artinya.

“Wa mayyattaqillāha yaj’al lahụ makhrajā wa yarzuq-hu min ḥaiṡu lā yaḥtasib (dari penggalan surat At-Thalaq).

Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya. dan menganugerahkan kepadanya rezeki dari arah yang tidak dia duga, atau dari arah yang tak disangka-sangka.

Muslim mayoritas kenal dengan ayat ini. Setidaknya bagi muslim, atau seharusnya seorang muslim punya keyakinan ini dalam hatinya.

Sehingga bisa mengurangi kegalauannya, kalau tidak bisa mengilangkan sepenuhnya kegalauan itu.

Lalu melahirkan keyakinan, beriman bahwa semua yang terjadi adalah kodrat dan iradatnya Allah. Sehingga kemudian muncul tawakal.

Maka sudahkah Anda membeli baju Lebaran tahun ini? Sudah berapa macam kue Lebaran yang Anda siapkan? Jangan khawatir rejeki Allah.

“Min ḥaiṡu lā yaḥtasib, dari arah yang tak disangka-sangka,maka tetaplah bersyukur agar ditambah nikmatnya. Wallahu a’lam.

Catatan Abdurahman Tohir: Ketua Umum Pusat Analisa Kajian Informasi Strategis Kabupaten Bangkalan.

Advertisement

Artikel Terkait :

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Populer Minggu ini