BANGKALAN, Lsmpakis.com – Gerakan golput, baik yang mengajak abstain atau mencoblos semua calon seperti fenomena di Jakarta adalah ekspresi politik yang tidak boleh dikriminalisasi.
Gerakan coblos semua paslon sebagai bentuk ekspresi menolak pasangan calon kepala daerah menjadi fenomena panas di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jakarta saat ini. Munculnya gerakan ini didasari dari kekecewaan pemilih Jakarta yang tidak diakomodasikan aspirasi paslon pilihannya oleh partai politik.
Pengajar Hukum Pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Titi Anggraini, mengatakan gerakan coblos semua paslon atau golput sejatinya menjadi tantangan partai politik, paslon, dan penyelenggara pemilu. Menurutnya, memilih atau tidak memilih adalah kehendak bebas dari setiap warga negara yang dijamin Konstitusi melalui asas bebas dan jujur, serta dilandasi oleh kesadaran dan pemahaman yang otentik atas setiap konsekuensinya.
“Untuk merespons gerakan ini secara substantial, dapat melalui diskursus gagasan dan program yang kritis dan dialektis. Semua pihak harus bersama-sama memastikan hadirnya pemilihan yang bukan hanya periodik tapi juga murni yang diselenggarakan berdasarkan asas prinsip pemilu yang bebas dan adil,” kata Titi kepada Hukumonline, Rabu (18/9/2024)
Titi menjelaskan gerakan golput, baik yang mengajak abstain atau mencoblos semua calon seperti fenomena di Jakarta adalah ekspresi politik yang tidak boleh dikriminalisasi atau ditakut-takuti dengan ancaman pemidanaan. Pemidanaan gerakan golput, kata dia, hanya bisa dilakukan apabila gerakan tersebut disertai politik uang atau dengan menggunakan kekerasan, ancaman kekerasan, dan menghalang-halangi seseorang yang akan melakukan haknya untuk memilih.
“Kalau gerakan itu hadir sebagai protest voting atau ekspresi protes warga yang berangkat dari kesadaran kritis sebagai warga negara, hal itu justru seharusnya jadi koreksi yang diperhatikan dan direspons secara serius oleh partai politik, elite, paslon, politisi, maupun penyelenggara pemilu,” tambahnya.
Menurut Titi, hak pilih atau tidak menggunakan hak pilih merupakan hak setiap warga negara. Hal ini sebagaimana diatur dalam UUD NRI 1945 atau UU lainnya. Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis.

Lalu bagaimana dengan Pilkada Bangkalan?, berikut pendapat Ketua Lsm Pusat Analisa Informasi Strategis (PAKIS), menanggapi fenomenal tersebut.
Menanggapi adanya fenomena mencoblos seluruh pasangan calon, Abdurrahman Tohir, Ketua Pusat Analisa Kajian Informasi Strategis (PAKIS), menurutnya bisa saja hal yang demikian terjadi, misalnya di Bangkalan. Hal tersebut bukan tanpa alasan. Menurutnya, di Bangkalan ini masih banyak fanatisme Bani Kholil yang berharap sekali pada Pilkada 2024 ini tampil dan terdapat dari trah Bani Kholil yang mencalonkan, namun belakangan ternyata tidak ada satupun dari keluarga besar Bani Kholil yang menjadi salah satu calon dalam Pilkada 2024 di Bangkalan.
“Ya, saya menganalisa, di Bangkalan ini sangat berpeluang dan sangat mungkin nanti akan muncul Gerakan Coblos Semua Calon Bupati itu, mengingat adanya kekecewaan publik terhadap Paslon yang ada saat ini karena tidak ada diantaranya tersebut yang dari keluarga Bani Kholil,” ujar Abdurrahman Tohir.
“Ingat, loyalitas dan fanatisme Bani Kholil masih sangat besar, sedang calon yang ada dan terdaftar saat ini semuanya tidak mempresentasikan dari keluarga Bani Kholil.” Imbuhnya.