Jakarta, Lsmpakis.com – Hakim Konstitusi Anwar Usman kembali diputus melanggar etik dan diberi teguran tertulis. Putusan ini diketok Makhamah Kehomatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), Kamis (28/3/2024).
“Menjatuhkan sanksi berupa Teguran Tertulis Kepada Hakim Terlapor,” kata Ketua MKMK I Dewa Gede Palguna di ruang persidangan.
Putusan terhadap adik ipar Presiden Joko Widodo ini dipicu laporan Zico Leonard dan Alvon Pratama, terkait ucapan Anwar Usman saat konferensi pers menanggapi pencopotan dirinya dari Ketua MK pada November 2023 berdasarkan Putusan No. 2/MKMKL/2023.
Dalam pertimbangannya, Majelis Kehormatan menilai tindakan Anwar menunjukkan gelagat dan sikap tidak legowo dalam menerima putusan MKMK.
Adapun MKMK menilai sikap Anwar membuat turunnya citra dan wibawa Mahkamah Konstitusi di mata masyarakat. Padahal, kepercayaan dan dukungan masyarakat merupakan kebutuhan mutlak bagi pentaatan dan efektivitas putusan-putusan Mahkamah Konstitusi.
Sebelumnya Anwar dicopot karena terbukti melanggar etik terkait putusan yang mengubah syarat usia capres-cawapres. Dalam jumpa pers, Anwar merasa dirinya dizalimi.
Integritas, penyalahgunaan kekuasaan, akuntabilitas, dan kepercayaan publik secara keseluruhan.
Tidak heran jika terkadang ada orang yang hanya mau tunduk kepada aturan saja sehingga main tipu-tipu pada persoalan moral. Padahal, Pancasila tidak hanya membicarakan persoalan hukum. Di Pancasila, ada norma agama, moral, dan kesusilaan.
Sementara itu, menurut Mahfud MD berdasarkan Tap MPR No VI/2001, Pejabat Publik yang melanggar etika harus mundur.
“Hukum itu hanya satu aspek saja dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang ada di Pancasila. Celakanya banyak orang yang melanggar norma agama, kesusilaan, moral, dan mereka itu tenang-tenang saja. Karena tidak ada aparat negara yang bisa menghukum dia,” kata Menkopolhukam Mahfud MD dalam Dies Natalis XXIV, Wisuda Program Sarjana XXI dan Program Studi Program Magister Hukum V 2022/2023, yang dipantau online, Kamis (30/11/2023)
Hukum sendiri sebenarnya adalah legalisasi dari norma yang disepakati. Hal itulah yang kemudian menyebabkan banyak orang tidak mau melanggar hukum karena takut pada pasal-pasal hukum. Tetapi, mereka tidak takut untuk melanggar etika _dan _moral. Yang seperti ini, dinilai oleh Mahfud sebagai orang yang tidak tahu malu. Sehingga berani melanggar etika dan moral.
Karena itu, ketika ada pemimpin atau pejabat negara melanggar etika, seharusnya mereka tahu diri dan mengajukan pengunduran diri dari jabatannya. Soal ini, dia menduga, ini karena pejabat negara tersebut merasa belum memperoleh vonis dari pengadilan. Sehingga mengabaikan norma-norma nonhukum seperti budaya malu dan etika.
“Misalnya ada pejabat, wakil menteri, Ketua KPK yang menjadi tersangka. Boleh tidak kita menduga mereka bersalah? Justru sangat boleh. Karena diduga bersalah lah, maka mereka ditahan atau dijadikan tersangka. Walaupun kepastian bersalahnya setelah ada vonis berkekuatan hukum tetap,” jelas Mahfud.
Parahnya, ada pihak yang sepertinya sengaja melanggar moral dan etik. Mereka juga sepertinya sengaja membuat hukum menjadi main-mainan. Dan hukum diletakkan di bawah oknum tersebut. Hal itu sangat bertentangan dengan semangat reformasi. Buktinya, ketika baru masa reformasi, pemerintah telah mengeluarkan Ketetapan MPR RI Nomor: VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
Berdasarkan portal resmi MPR, Tap MPR ini meletakkan basis etika dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan, agar terwujud tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pokok-pokok etika dalam kehidupan berbangsa, mengedepankan kejujuran, amanah, keteladanan, sportifitas, disiplin, etos kerja, kemandirian, sikap toleransi, rasa malu, tanggung jawab, menjaga kehormatan serta martabat diri sebagai warga bangsa.
Terbitnya Ketetapan MPR RI tersebut berawal dari keprihatinan bahwa sejak terjadinya krisis multidimensional, muncul ancaman yang serius terhadap persatuan bangsa dan terjadinya kemunduran dalam pelaksanaan etika kehidupan berbangsa. Hal itu tampak dari konflik sosial yang berkepanjangan, berkurangnya sopan santun dan budi pekerti yang luhur dalam pergaulan sosial, melemahnya kejujuran dan sikap amanah dalam kehidupan berbangsa, pengabaian terhadap ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan, dan sebagainya yang disebabkan oleh berbagai faktor yang berasal baik dari dalam maupun luar negeri.
Selain itu, Mahfud MD juga menyebut ada Ketetapan MPR RI Nomor VIII Tahun 2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Di mana, salah satu isinya menyebutkan, jika ada aparatur negara yang terlibat kasus hukum bisa langsung diberhentikan meskipun belum diadili.
“Dua Ketetapan MPR tersebut masih berlaku sampai sekarang,” ucap dia.
Karena itulah dia mengusukan, agar perlu kembali menegakkan etika dan moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Misalkan saja melalui penerapan pendidikan moral Pancasila, melalui kurikulum dalam rangka kembali membangun character building.
Hal hampir serupa juga disampaikan pengamat hukum dan tata negara dari UPNVJ Wicipto Setiadi. Dia menyebutkan kalau ada kecenderungan penegak hukum lebih mengedepankan hukum daripada etika. Padahal etika dan hukum merupakan dua hal yang saling berkaitan dan berhimpitan.
“Etika diperlukan agar manusia hidup harmoni dan tidak melanggar hak-hak orang lain yang menyebabkan terjadinya pelanggaran harmoni. Sementara hukum diperlukan untuk mencegah dan menyelesaikan pelanggaran atas hak-hak itu,” ucap dia, dalam orasi ilmiah dalam rangka Dies Natalies ke-46 UPNVJ yang dipantau online, Kamis (30/11/2023).
Sehingga, ketika suatu pelanggaran etika dalam suatu lembaga atau penguasa tidak diproses dan ditindak dengan tegas, maka akan menjadi semacam penyakit menular dan akan dianggap sebagai hal biasa. Dan ini sering terjadi seperti itu.
“Makanya budaya sadar etika perlu ditingkatkan dalam semua aspek kehidupan berbangsa bernegara,” ucap dia.
“Dan ini belum menyangkut pada persoalan hukum, karena persoalan etika belum tentu menyentuh persoalan hukum. Tetapi pejabat yang tidak beretika biasanya akan kehilangan kepercayaan publik dan juga dia akan melenceng dari tupoksi yang diembannya ketika dia sudah tidak lagi memegang etika.
Mengutip penjelasan UUD 1945 ketika founding father Indonesia mengatakan, “aturan hukum meskipun kurang baik, tapi kalau di tangan orang yang beretika dan bermoral maka hukumnya akan menjadi sangat baik. Sebaliknya ketika aturan hukum yang sangat baik dijalankan oleh orang yang tidak beretika dan tidak bermoral maka menjadi tidak baik.
Karena hukum itu merupakan sesuatu yang mati. Ruhnya dan bagaimana dia dioperasionalkan itu sangat bergantung pada moralitas dan etika yang dimiliki oleh para penegak hukum itu sendiri.
“Karena itu sangat diperlukan pola rekrutmen agar setiap lembaga dan setiap institusi dalam merekrutmen orang-orang yang akan bertugas di lembaga dan institusi itu selalu memiliki kualifikasi pengalaman dan keilmuan, tapi sangat penting memiliki kualifikasi etika,”
Bahwa kesadaran moral masyarakat yang dapat membedakan mana yang dianggap baik dan tidak. Semua hal terkait kode etik itu bersumber pada agama. “Karena agama mengatakan; “_Di dalam diri manusia ada segumpal daging, yang kalau dia baik, maka baiklah seluruh perbuatannya. Kalau dia tidak baik maka rusaklah seluruh perbuataannya,”
_
Pernyataan tersebut berbunyi demikian, maka karena segumpal daging yang disebut hati itu tidak akan pernah berdusta. “Orang yang tidak baik dan berani pun sebenarnya dia gelisah dengan hatinya, karena hatinya tidak pernah menerima. Nah inilah sebenarnya sumber dari etika itu.
Sebab, tindakan tersebut dapat menimbulkan konflik kepentingan, bertentangan dengan peraturan dan kode etik, serta memiliki risiko sanksi pidana.
Etika dan hukum (dalam pendekatan nonpositivis) adalah dua entitas yang sangat berkaitan, tetapi berbeda dalam penegakannya. Etika adalah ladang tempat hukum ditemukan dan hukum sendiri merupakan pengejawantahan hukum yang telah diberi sanksi dan diformalkan.
Kita mengenal tingkatan hukum yang berawal dari nilai, asas, norma, dan undang-undang. Dalam konsepsi tersebut, etika berada pada tataran norma dan asas, dengan demikian posisi etika adalah jauh di atas hukum. Implikasinya, pelanggaran etika secara sosiologis mendapatkan celaan sama atau bahkan lebih dari pelanggaran hukum.